Tuesday, September 30, 2008

Menjangan... Oh... Menjangan


Beberapa hari yang lalu saya mengutak-atik komputer. Maksud saya, membongkar isi file-nya. Betapa terkejutnya saya, ketika melihat kumpulan foto perjalanan saya ke Pulau Menjangan. Hah. Saya pikir file itu sudah lenyap karena saya sempat meng-update antivirus beberapa kali sebelum saya menemukannya. Foto-foto itu demikian berharga sehingga saya langsung menggadakannya ke flashdisk, dan muncullah keinginan untuk posting di blog ini.

Saya kembali terkenang perjalanan itu. Kalau tidak salah, waktu itu saya baru masuk SMA. Jadi, kalau di foto ada orang kecil, kurus, dan memakai baju striped merah putih, itulah saya (Hehehe…). Perjalanan dimulai dari Singaraja, menuju sekitar 60 km ke barat, ke sebuah pelabuhan bernama Labuhan Lalang. Ini adalah satu-satunya akses menuju ke Pulau Menjangan. Sewa boat sekitar Rp.125.000,- termasuk cukup mahal ketika waktu itu, yaitu pada 2003. Tapi tak apalah. Semua itu pasti tak sebanding dengan apa yang menanti saya di pulau kecil itu.

Penyeberangan memakan waktu sekitar 20 menit. Laut biru mendominasi pemandangan. Laut biru itu berubah menjadi hijau ketika boat merapat ke pulau. Saya dapat melihat dasar laut yang penuh karang, ikan warna-warni, dan mollusca. Inilah yang menjaga nama Pulau Menjangan sebagai surga bagi para penyelam selama bertahun-tahun.

Pulau itu gersang sekali. Konon, katanya tak ada air bersih. Yang ada hanya rumput kering, semak-semak, dan pohon meranggas. Tapi satu hal yang menakjubkan adalah pemandangannya. Ini sama seperti laut di film Cast Away. Biru lalu tergradasi dengan warna hijau. Belum lagi suasana spiritual yang kental sekali. Semua itu menciptakan sensasi yang tiada tara. Saya lupa entah berapa pura yang ada disana, yang pasti lumayan banyak. Konon, pura disana merupakan sasuhunan Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Makanya, jangan heran jika menemukan patung Gajah Mada disana, berdiri dengan raut muka yang gagah. Hm.

Sampai detik ini, hanya itu yang saya ingat. Dan setelah 5 tahun berlalu, saya jadi ingin lagi ke pulau itu. Hitung-hitung untuk mengingat kembali kenangan itu. Hehehe…

Saturday, September 13, 2008

Pagi yang Sederhana di Pelabuhan Buleleng


Pagi itu, jam 8.45, saya datang ke rumah teman, Donkin, untuk bersama-sama datang ke kampus untuk ikut rapat. Kebetulan, rumah teman saya terletak di kompleks Pelabuhan Buleleng. Mata sepet, wajah pun masih lecek (karena, jujur, saya tak terbiasa bangun pagi), sehingga kalau berkaca, ingin rasanya saya menyeterika muka sendiri. Tubuh rasanya aneh, sehingga jika diregangkan, tulang-tulang menjadi ngilu semua. Apalagi ditambah dengan udara pagi yang dingin, membuat saya begitu benci untuk membelah kota sepagi itu.

Singkat cerita, sampailah saya di rumah Donkin, kemudian memanggil namanya. Bibinya menyuruh saya untuk menunggu. Dia masih ganti baju, katanya. Ah, pastilah lama. Saya pun berjalan-jalan sedikit di pelataran Pelabuhan Buleleng. Rupanya, pagi baru saja menggeliat. Orang-orang mulai menikmati paginya. Ada beberapa pria yang memancing di tepian laut (mereka percaya pagi hari merupakan saat yang tepat untuk memancing). Sebagian dari mereka hanya sebatas menyalurkan hobi saja, sehingga hasil tangkapan yang sedikit tak menjadi masalah besar. Ada orang bersepeda yang melintas di depan bangunan tua, tak tahu kemana tujuannya. Ada pula yang sekedar menikmati kopi sambil menghirup rokok. Semuanya berlatar langit biru yang sangat indah—biru laut dan biru langit seolah menyatu tanpa horison. Sinar matahari menerobos di sela-sela daun waru, kemudian debu membuatnya semakin indah. Akhirnya sinar itu mencetak dirinya pada tanah yang berasap.

Dermaga itu nampak istimewa dari sebelumnya, mungkin karena kesan yang ditimbulkan oleh langit biru yang indah itu. Di ujung dermaga, ada kakek yang mengajak cucunya ngalih ai (Artinya mandi sinar matahari pagi. Ingat pelajaran SD: sinar matahari pagi mengandung vitamin D). Dan seperti biasa, dermaga ini menjadi favorit para remaja untuk berpacaran.

Benar-benar potret kehidupan pagi yang biasa-biasa saja. Sama seperti pagi sebelumnya. Tapi, ada suatu hal yang membuat saya setuju bahwa itu adalah pagi yang sangat menakjubkan. Itu membuat saya berpikir: ternyata banyak hal indah di sekitar kita yang seringkali tidak kita sadari.

Ah. Saya pun meregangkan badan. Kali ini lebih terasa nikmatnya.