Tuesday, August 5, 2008

Dari Pantai ke Pantai...

Mobil meluncur dari Denpasar menuju Amlapura. Bagi saya, perjalanan kali ini terasa sangat melelahkan sekaligus membosankan. Maksud saya, memang sih, jalannya tidak berliku-liku seperti Jalan Singaraja-Denpasar. Tapi, siapa sih yang tidak bosan duduk selama satu setengah jam di dalam mobil dalam posisi yang sama? Bagi sebagian orang, mungkin hal itu biasa saja. Namun, saya adalah orang yang cepat sekali bosan. Pengap sekali rasanya.

Jalan Bypass I. B. Mantra adalah jalan yang menghubungkan Denpasar-Amlapura. Jaraknya sekitar delapan puluh kilometer dan dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Selama perjalanan, saya bisa melihat indahnya pantai Bali Tenggara yang berwarna biru-hijau. Ini menolong sekali. Bosan saya jadi sedikit terobati.

Mulai dari Pantai Lebih (saya tak masuk—hanya melihat marka jalannya) sampai pantai-entah-apa-namanya, semua menawarkan keindahannya sendiri-sendiri. Saya juga melewati Pura Goa Lawah yang terkenal. Sayang, saya harus mengejar waktu. Saya harus tiba di Karangasem tepat waktu.

Lama kelamaan jalan semakin mepet laut. Pohon kelapa dan pandan mulai bermunculan. Warna biru kemudian mendominasi, angin pun mengeras. Jalan menikung halus, sampai akhirnya tibalah saya pada perbatasan Klungkung-Karangasem. Mobil menepi pada pelataran parkir (ini sudah masuk wilayah Karangasem). Saya turun kemudian meregangkan badan, dan saya baru sadar. Saya berada di pantai yang sangat permai. Samar-samar saya bisa melihat Pulau Nusa Penida. Di kejauhan, terlihat kapal ferry yang menyeberang ke Nusa Penida.

Di pelataran parkir terdapat warung-warung yang menyediakan berbagai makanan, sehingga tempat ini pas sekali untuk sekedar mengisi perut setelah perjalanan jauh. Pemandangannya juga menarik. Belakangan, saya mengetahui tempat itu bernama Pantai Yeh Malet. Pemerintah setempat menetapkan tempat itu sebagai tujuan wisata Karangasem. Saya hanya berfoto sekali—yang sangat saya sesali—dengan latar laut biru-hijau dan garis tipis Pulau Nusa Penida.

Ah, seandainya saya tiba pada saat matahari terbenam.

Taman Ujung Soekasada: Melihat 'Yunani' di Karangasem

Orang Bali sering meng-identik-kan Karangasem dengan kekeringan. Jika musim panas menjelang, bukit yang mengelilingi Karangasem sontak kering kerontang. Beberapa daerah bahkan kesulitan mendapatkan air. Tapi, bukalah mata. Ada satu nirwana yang ‘berlimpah air’, meski musim panas terus melanda.

Teman kuliah saya, Sulis, yang kebetulan dari Karangasem, selalu menyombongkan Taman Ujung Soekasada. Katanya, tempat ini bagus-lah, keren-lah, ditambah lagi dengan deskripsi yang berlebihan. Makanya, ketika saya ada waktu luang main ke Karangasem, saya langsung menghubunginya. Temui saya di Ujung, begitu pesan yang saya kirimkan ke dia.

Begitu saya tiba di kompleks Taman Ujung, saya langsung disuguhkan pemandangan yang sedikit ‘berbeda’. Maksud saya, Karangasem saat itu dilanda musim kering. Terakhir saya baca di koran, ada beberapa desa yang penduduknya harus rela mengantri berjam-jam untuk seember air bersih. Namun, di Taman Ujung, air melimpah ruah dalam kolam yang luasnya entah-berapa-meter. Jujur nih, pemandangan disana bagus sekali. Benar-benar agung, mengingat tempat ini adalah peninggalan Kerajaan Karangasem. Teknik arsitekturnya unik sekali, merupakan kombinasi arsitektur Bali dan Eropa.

Sulis menghampiri saya. Rupanya kami datang berbarengan. Langsung saja dia menangkap ekspresi kekaguman saya, kemudian berkata ini-itu seolah-olah dia baru saja memenangkan pertandingan lari di olimpiade. Yayaya... dia memang benar. Tempat ini mengagumkan sekali. Terdapat tiga kolam di kompleks Taman Ujung. Di tengah kolam utama, terdapat bangunan yang dihubungkan oleh jembatan dengan teknik arsitektur yang unik dan berukir-ukir. Di jembatan kolam utama, terdapat sekitar 6 gerbang sebelum mencapai bangunan utama di tengah kolam. Pada jembatan inilah, saya bisa melihat luasnya air disertai tanaman teratai yang (mungkin) ditata rapi. Sulis menjelaskan bahwa tempat ini adalah kolam mandi para keturunan Kerajaan Karangasem. Yah, saya pun berikir demikian ketika pertama kali menginjakkan kaki di Taman Ujung.

Taman Ujung dibangun pada 1919, namun baru diresmikan pada 1921. Istana air ini dikonstruksi oleh raja terakhir Karangasem, yaitu I Gusti Bagus Jelantik, yang memerintah pada periode 1909 sampai 1945. Tempat ini digunakan untuk menyambut tamu-tamu penting, disamping juga digunakan oleh keluarga Puri Karangasem untuk bersantai. Tempat ini pernah rusak pada 1963 akibat meletusnya Gunung Agung. Apalagi ditambah dengan guncangan gempa hebat pada 1979. Namun, pemerintah sudah menata ulang. Sehingga warisan itu masih terlihat keagungannya sampai sekarang.

Jam menunjukkan pukul 17.15 WITA. Suasana makin bersahaja ketika warna jingga sudah mulai mendominasi langit Karangasem. Tak ingin membuang waktu, saya melanjutkan berkunjung ke bangunan tengah kolam. Pada bangunan ini, terdapat foto-foto tetua Puri Karangasem. Tempat ini juga tak kalah menarik, mengingat kita bisa memperkaya wawasan sejarah. Yah, hitung-hitung kilas balik-lah. Foto-foto Raja Karangasem yang pernah memerintah terpampang bersama keturunan dan permaisurinya. Juga terpampang foto raja terakhir Karangasem, I Gusti Bagus Jelantik, serta kondisi Taman Ujung tempoe doeloe. Semuanya dalam sepia. Benar-benar gambaran agung masa lalu.

Sulis kemudian menggiring saya ke tempat tertinggi istana itu. Saya harus melewati banyak tangga sebelum mencapainya. Disinilah keistimewaan lain Taman Ujung. Ada bangunan keren sekali—mirip kuil Yunani—yang berdiri megah berlatar laut Karangasem, sawah hijau, dan keindahan Gunung Agung. Komplit, kan? Bangunan itu ditunjang 12 pilar berukir style Bali, dan tiap pilar terhubung lengkungan-lengkungan yang menambah rasa Eropa. Tempat itu sering digunakan tempat foto pre-wedding, Sulis memberikan informasi. Yah. Memang cocok. Saya pun jika menikah nanti, mungkin akan foto pre-wedding disana. Hehehe...

Waktu berjalan serasa cepat sekali. Matahari sudah tergantikan bulan. Saya pun harus pulang. Saya tak tahu kapan akan kembali lagi kesini. Yang jelas, saya pasti kembali. Untuk sekarang, paling tidak ada beberapa foto sebagai obat rindu saya terhadap Taman Ujung Soekasada.

Tanah Lot, Tak Lekang Diterjang Gelombang

Sabtu, 2 Agustus 2008 pukul 7.30 a.m. Saya sedang sibuk-sibuknya mengurus tugas kuliah di salah satu sekolah di Singaraja. Mau tidak mau saya harus menyelesaikan segalanya. Mulai dari bertemu guru pembimbing, diskusi, minta tanda tangan, sampai fotokopi ini-itu. Batas untuk berada di sekolah itu hanya sampai pukul 8, atau setidaknya, pukul 8.30. Pasalnya, saya dan keluarga sudah berencana weekend di belahan Bali Selatan. Dan saya tak mau waktu terbuang percuma.

Sesampainya di rumah, saya langsung mandi. Semua sudah siap, termasuk perbekalan makanan yang tersusun rapi dalam sebuah rantang (Ini ide ibu saya. Sudah tradisi, katanya). Tujuan pertama adalah Kabupaten Tabanan. Kakak saya akan mengunjungi temannya yang lagi punya hajatan di Distrik Kediri. Jadilah kami berangkat kesana.

Karena letaknya berdekatan dengan Tanah Lot, kami memutuskan untuk mampir sebentar ke tempat itu. Semua setuju dan bergembira. Maklum. Walaupun orang Bali, kami jarang datang ke Tanah Lot. Terakhir saya datang ke Tanah Lot sekitar tahun 2003 atau 2004. Jadi sudah sekitar 4 tahun-an saya tak menikmati panorama indah Tanah Lot. Orang tua saya lebih “parah” lagi. Terakhir mereka ke tempat itu pada 1990, jadi 18 tahun sudah mereka tak ke tempat itu. Sungguh terlalu. (Ucapkan seperti gaya bicara Roma Irama. Hehe..).

Singkat cerita, tibalah kami di gerbang tiket. Untuk wisatawan domestik dipungut biaya Rp. 7.000,- per orang, sedangkan untuk wisatawan mancanegara dipungut 3.000 lebih mahal. Ketika turun dari mobil, bau laut langsung menyergap. Keadaan masih tetap menarik seperti waktu terakhir saya ke Tanah Lot. Mungkin yang paling terheran-heran adalah orang tua saya. Sejak tahun 1990 ternyata Tanah Lot berkembang pesat, ujarnya berkomentar (Ya iyalah…). Art shop bertebaran disana-sini, masing-masing menawarkan barang kerajinan dan cinderamata yang hampir seragam. Tukang tattoo temporary juga tak ketinggalan, berbaur dengan pedagang jajanan tradisional. Beruntung tak ada pedagang asongan, seperti lumrah di tempat wisata lain.

Memang dasar suka belanja, saya langsung gatal melihat barang-barang yang ditawarkan di tempat itu. Sandal yang terbuat dari tikar pandan langsung saya beli dengan 1x penawaran (Rp. 15.000,- dan langsung saya pakai), kemudian topi koboi yang terbuat dari jerami (Rp. 25.000,-). Seolah tak mau kalah dengan turis lain, saya juga mencoba tattoo temporary seharga Rp. 15.000,-. Dan jadilah, saya berjalan gagah dengan sandal tikar pandan, topi koboi jerami, plus tatto tribal di betis.

Setelah menyusuri jalan penuh art shop, akhirnya saya tiba on the main spot, Tanah Lot. Cuaca mendukung sekali. Awan nampak bergerombol di langit. Horison terlihat jelas. Taman di sekitar Tanah Lot ditata asri dan rapi sekali. Menurut orang tua saya, taman ini dulu tak ada. Jadi, mobil bisa langsung masuk. Mungkin karena semakin banyak turis yang datang, pemerintah memutuskan untuk memperindah tempat ini. Dan mereka berhasil. Ombak besar bergulung-gulung, kemudian terpecah di karang Pura yang terkenal itu. Saya jadi berpikir dua kali lipat. Bagaimana bisa karang itu tak roboh dipukul gelombang sebesar itu selama berabad-abad? (Anyone please give me logical reason(s)!)

Siapapun yang berkunjung kesana, orang-orang tentunya akan memusatkan perhatiannya ke karang terkenal itu. Saya rasa semua sudah familiar dengan karang Tanah Lot, karena Tanah Lot adalah pura yang paling banyak diambil gambarnya.

Ada sedikit cerita mengenai Tanah Lot. Pura ini sudah ada sejak Zaman Majapahit. Ketika itu datang seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Nirartha. Konon, di tempat inilah beliau melakukan meditasi kemudian menyebarkan Agama Hindu ke wilayah sekitar, yakni Desa Beraban. Rupanya hal itu membuat marah penguasa Desa Beraban kala itu, Bendesa Beraban Sakti. Maka, beliau menghimpun pengikutnya yang masih setia untuk mengusir Dang Hyang Nirartha. Dang Hyang Nirartha pun melindungi diri dengan cara memindahkan karang besar itu ke tengah laut, kemudian menciptakan banyak ular di sekitar karang dengan selendangnya. Akhirnya, Beraban Sakti mengakui kesaktian Dang Hyang Nirartha dan menjadi pengikut setianya. Oleh Nirartha, karang itu diberi nama “Tengah Lot” yang berarti tanah di tengah laut. Upacara di Pura Tanah Lot diperingati pada Buda Wage Langkir setiap 6 bulan sekali, sesuai penanggalan kalender Bali.

Setelah puas menikmati karang Tanah Lot plus foto-foto (sayang, saya tak turun ke dekat karang), kami datang ke karang kedua, yaitu Pura Batu Bolong. Pura-nya berada di atas karang, cuma yang membedakan pura ini sama Tanah Lot adalah karangnya yang berlubang di tengah. Unik, kan?

Wisatawan siang itu tak terlalu banyak. Menurut pedagang setempat, waktu paling ramai adalah sore hari karena banyak yang ingin melihat sunset. Memang kurang sreg rasanya jika tidak menyaksikan siluet karang Tanah Lot berlatar langit oranye. Tapi, tak apalah. Tanah Lot di siang hari juga tak kalah menarik.

Kami kembali ke parkiran. Kaki rasanya enggan meninggalkan tempat itu. Ombak menderu kemudian terpecah di karang Tanah Lot, seolah merayu kami untuk datang lagi.

Ah, Tanah Lot. Memang tak pernah lekang walau diterjang gelombang.

Sunday, August 3, 2008

Memecah Kesunyian di Brahma Vihara Arama

Singaraja sedang berkembang. Bangunan-bangunan muncul disana-sini, pusat pertokoan menjamur tak kenal musim, dan sepeda motor berseliweran kencang. Mungkin akan sedikit susah menemukan tempat yang menawarkan keheningan di tengah hiruk pikuk kota Singaraja yang terus menggeliat. Tapi percayalah, tempat itu masih ada.

Ketika teman saya berulang tahun, dia mengajak saya untuk merayakan hari jadinya di Air Panas Banjar. Segala akomodasi (termasuk karcis dan makan) ditanggung. Okelah. Sekalian berakhir pekan. Maka berangkatlah saya dengan beberapa teman lain dengan sepeda motor (sayang, saya lupa mengusul untuk uang bensin). Ketika tiba disana, suasana masih seperti dulu. Art shop yang berjejer di jalan masuk, turis asing dan lokal, kolam hangat yang kehijauan, dan pohon talas di pinggir sungai. Singkat kata singkat cerita, waktu berlalu. Berenang sudah, makan pun sudah. Teman-teman pun langsung ingin pulang ke rumah. Kala itu, waktu baru menunjukkan pukul 11.40 WITA.

Agus a.k.a. Donkin, teman yang nebeng sama saya, membujuk saya untuk jangan segera pulang ke rumah. Kita ke Vihara Banjar dulu, katanya. Lagian, lokasinya berdekatan dengan Air Panas, cuma 1 kilometer ke timur laut. Akhirnya, dengan segala bujukannya, saya setuju. Toh, sudah lama sekali saya tak ke tempat itu (terakhir saya ke Vihara ketika saya berumur 5 atau 6 atau 7 tahun, sehingga saya lupa-sama-sekali tempat itu). Dengan sedikit petunjuk (dari teman dan penduduk lokal), kami pun tiba disana setelah melalui jalan yang menanjak.

Nama lengkap Vihara itu adalah Brahma Vihara Arama. Ketika masuk ke dalam, keheningan langsung menyergap bagai ruang hampa. Tempat ini tinggi sekali (di tempat khusus, kami bisa melihat laut utara Bali). Makanya tak heran banyak tangga yang menghubungkan satu tempat dan tempat lain. Di setiap anak tangga terdapat kata-kata Buddha yang (saya rasa) melambangkan tingkatan kehidupan. Di dinding tertempel kata-kata bijak yang dikutip dari kitab suci (ini membuat beberapa pengunjung manggut-manggut, termasuk saya. Hehe...).

Tempat ini pernah ambruk, ketika gempa mengguncang Seririt tahun 1976. Konon, getarannya sangat hebat, sehingga berimbas ke daerah lain termasuk kuil ini. Kemudian tempat ini direnovasi, dan pemerintah setempat selalu mencantumkannya pada buku panduan wisata Bali Utara.

Well, ini adalah tempat suci bagi kaum Buddha, tapi sentuhan Bali sangat terasa. Misalnya, arsitekturnya masih bernuansa Bali. Ukiran dan gerbangnya pun menggunakan style Bali. Ini berbeda dengan kuil kebanyakan yang bernuansa oriental dan didominasi dengan warna kuning-merah. Inilah yang membuktikan bahwa kebudayaan Hindu dan Buddha memiliki hubungan yang sangat dekat.

Kami langsung mencari tempat bagus untuk berfoto. Tempat foto pertama adalah di depan candi entah-apa-namanya (yang jelas, bentuknya seperti genta dan berwarna kuning). Kemudian, kita bergerak ke selatan untuk mengunjungi candi kedua yang mirip dengan Candi Borobudur lengkap dengan stupa-nya. Ini memang seperti replika borobudur. Mulai dari stupa dan patung-patungnya, sampai bentuknya yang seperti teratai. Di tengah candi ini, terdapat kuil untuk bersembahyang untuk kaum Buddha, namun tak menutup kemungkinan bagi agama lain untuk ikut berdoa. Buktinya, banyak turis asing yang bersimpuh dan mencakupkan tangannya untuk sekedar memanjatkan doa. Penduduk lokal juga sering berziarah, berbaur dengan etnis Tionghoa yang rutin ke vihara.

Feature lain yang tak kalah menarik disini adalah relief yang menggambarkan perjalanan hidup Sang Buddha, dan tentu saja, patung-patung Buddha bersila dengan posisi telapak tangan yang berbeda-beda. Saya lupa menghitung berapa ada patung buddha disana. Yang jelas, banyak sekali. Bahkan, ada patung buddha yang tampak berbaring santai.

Entah karena tempatnya yang terpencil atau kesan yang ditimbulkan akibat terkuncinya mulut turis yang lain, tempat ini memang benar-benar-sepi-sekali. Padahal, waktu itu turis sedang banyak-banyaknya. Karena itulah, kuil ini adalah tempat yang pas untuk melakukan meditasi. Di sinilah surga bagi para pencinta meditasi, atau bagi orang yang ingin “melarikan diri” dari kesibukan kota sejenak. Agus menyuruh saya ikut kursus meditasi, tapi percayalah, itu sia-sia saja. Saya tak pernah bisa bertahan pada posisi padmasana lebih dari setengah menit.

Tapi setidaknya, tempat ini bisa saya jadikan tempat pelarian untuk merenungi hidup yang telah saya jalani (teman saya langsung memukul kepala saya. Sok banget, katanya. Hehe...).