Sabtu, 2 Agustus 2008 pukul 7.30 a.m. Saya sedang sibuk-sibuknya mengurus tugas kuliah di salah satu sekolah di Singaraja. Mau tidak mau saya harus menyelesaikan segalanya. Mulai dari bertemu guru pembimbing, diskusi, minta tanda tangan, sampai fotokopi ini-itu. Batas untuk berada di sekolah itu hanya sampai pukul 8, atau setidaknya, pukul 8.30. Pasalnya, saya dan keluarga sudah berencana
weekend di belahan Bali Selatan. Dan saya tak mau waktu terbuang percuma.
Sesampainya di rumah, saya langsung mandi. Semua sudah siap, termasuk perbekalan makanan yang tersusun rapi dalam sebuah rantang (Ini ide ibu saya. Sudah tradisi, katanya). Tujuan pertama adalah Kabupaten Tabanan. Kakak saya akan mengunjungi temannya yang lagi punya hajatan di Distrik Kediri. Jadilah kami berangkat kesana.
Karena letaknya berdekatan dengan Tanah Lot, kami memutuskan untuk mampir sebentar ke tempat itu. Semua setuju dan bergembira. Maklum. Walaupun orang Bali, kami jarang datang ke Tanah Lot. Terakhir saya datang ke Tanah Lot sekitar tahun 2003 atau 2004. Jadi sudah sekitar 4 tahun-an saya tak menikmati panorama indah Tanah Lot. Orang tua saya lebih “parah” lagi. Terakhir mereka ke tempat itu pada 1990, jadi 18 tahun sudah mereka tak ke tempat itu. Sungguh terlalu. (Ucapkan seperti gaya bicara Roma Irama. Hehe..).
Singkat cerita, tibalah kami di gerbang tiket. Untuk wisatawan domestik dipungut biaya Rp. 7.000,- per orang, sedangkan untuk wisatawan mancanegara dipungut 3.000 lebih mahal. Ketika turun dari mobil, bau laut langsung menyergap. Keadaan masih tetap menarik seperti waktu terakhir saya ke Tanah Lot. Mungkin yang paling terheran-heran adalah orang tua saya. Sejak tahun 1990 ternyata Tanah Lot berkembang pesat, ujarnya berkomentar (Ya iyalah…). Art shop bertebaran disana-sini, masing-masing menawarkan barang kerajinan dan cinderamata yang hampir seragam. Tukang tattoo temporary juga tak ketinggalan, berbaur dengan pedagang jajanan tradisional. Beruntung tak ada pedagang asongan, seperti lumrah di tempat wisata lain.
Memang dasar suka belanja, saya langsung gatal melihat barang-barang yang ditawarkan di tempat itu. Sandal yang terbuat dari tikar pandan langsung saya beli dengan 1x penawaran (Rp. 15.000,- dan langsung saya pakai), kemudian topi koboi yang terbuat dari jerami (Rp. 25.000,-). Seolah tak mau kalah dengan turis lain, saya juga mencoba tattoo temporary seharga Rp. 15.000,-. Dan jadilah, saya berjalan gagah dengan sandal tikar pandan, topi koboi jerami, plus tatto tribal di betis.
Setelah menyusuri jalan penuh art shop, akhirnya saya tiba on the main spot, Tanah Lot. Cuaca mendukung sekali. Awan nampak
bergerombol di langit. Horison terlihat jelas. Taman di sekitar Tanah Lot ditata asri dan rapi sekali. Menurut orang tua saya, taman ini dulu tak ada. Jadi, mobil bisa langsung masuk. Mungkin karena semakin banyak turis yang datang, pemerintah memutuskan untuk memperindah tempat ini. Dan mereka berhasil. Ombak besar bergulung-gulung, kemudian terpecah di karang Pura yang terkenal itu. Saya jadi berpikir dua kali lipat. Bagaimana bisa karang itu tak roboh dipukul gelombang sebesar itu selama berabad-abad? (Anyone please give me logical reason(s)!)
Siapapun yang berkunjung kesana, orang-orang tentunya akan memusatkan perhatiannya ke karang terkenal itu. Saya rasa semua sudah familiar dengan karang Tanah Lot, karena Tanah Lot adalah pura yang paling banyak diambil gambarnya.
Ada sedikit cerita mengenai Tanah Lot. Pura ini sudah ada sejak Zaman Majapahit. Ketika itu datang seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Nirartha. Konon, di tempat inilah beliau melakukan meditasi kemudian menyebarkan Agama Hindu ke wilayah sekitar, yakni Desa Beraban. Rupanya hal itu membuat marah penguasa Desa Beraban kala itu, Bendesa Beraban Sakti. Maka, beliau menghimpun pengikutnya yang masih setia untuk mengusir Dang Hyang Nirartha. Dang Hyang Nirartha pun melindungi diri dengan cara memindahkan karang besar itu ke tengah laut, kemudian menciptakan banyak ular di sekitar karang dengan selendangnya. Akhirnya,
Beraban Sakti mengakui kesaktian Dang Hyang Nirartha dan menjadi pengikut setianya. Oleh Nirartha, karang itu diberi nama “Tengah Lot” yang berarti tanah di tengah laut. Upacara di Pura Tanah Lot diperingati pada Buda Wage Langkir setiap 6 bulan sekali, sesuai penanggalan kalender Bali.
Setelah puas menikmati karang Tanah Lot plus foto-foto (sayang, saya tak turun ke dekat karang), kami datang ke karang kedua, yaitu Pura Batu Bolong. Pura-nya berada di atas karang, cuma yang membedakan pura ini sama Tanah Lot adalah karangnya yang berlubang di tengah. Unik, kan?
Wisatawan siang itu tak terlalu banyak. Menurut pedagang setempat, waktu paling ramai adalah sore hari karena banyak yang ingin melihat sunset. Memang kurang sreg rasanya jika tidak menyaksikan siluet karang Tanah Lot berlatar langit oranye. Tapi, tak apalah. Tanah Lot di siang hari juga tak kalah menarik.
Kami kembali ke parkiran. Kaki rasanya enggan meninggalkan tempat itu. Ombak menderu kemudian terpecah di karang Tanah Lot, seolah merayu kami untuk datang lagi.
Ah, Tanah Lot. Memang tak pernah lekang walau diterjang gelombang.