Ketika teman saya berulang tahun, dia mengajak saya untuk merayakan hari jadinya di Air Panas Banjar. Segala akomodasi (termasuk karcis dan makan) ditanggung. Okelah. Sekalian berakhir pekan. Maka berangkatlah saya dengan beberapa teman lain dengan sepeda motor (sayang, saya lupa mengusul untuk uang bensin). Ketika tiba disana, suasana masih seperti dulu. Art shop yang berjejer di jalan masuk, turis asing dan lokal, kolam hangat yang kehijauan, dan pohon talas di pinggir sungai. Singkat kata singkat cerita, waktu berlalu. Berenang sudah, makan pun sudah. Teman-teman pun langsung ingin pulang ke rumah. Kala itu, waktu baru menunjukkan pukul 11.40 WITA.
Agus a.k.a. Donkin, teman yang nebeng sama saya, membujuk saya untuk jangan segera pulang ke rumah. Kita ke Vihara Banjar dulu, katanya. Lagian, lokasinya berdekatan dengan Air Panas, cuma 1 kilometer ke timur laut. Akhirnya, dengan segala bujukannya, saya setuju. Toh, sudah lama sekali saya tak ke tempat itu (terakhir saya ke Vihara ketika saya berumur 5 atau 6 atau 7 tahun, sehingga saya lupa-sama-sekali tempat itu). Dengan sedikit petunjuk (dari teman dan penduduk lokal), kami pun tiba disana setelah melalui jalan yang menanjak.
Nama lengkap Vihara itu adalah Brahma Vihara Arama. Ketika masuk ke dalam, keheningan langsung menyergap bagai ruang hampa. Tempat ini tinggi sekali (di tempat khusus, kami bisa melihat laut utara Bali). Makanya tak heran banyak tangga yang menghubungkan satu tempat dan tempat lain. Di setiap anak tangga terdapat kata-kata Buddha yang (saya rasa) melambangkan tingkatan kehidupan. Di dinding tertempel kata-kata bijak yang dikutip dari kitab suci (ini membuat beberapa pengunjung manggut-manggut, termasuk saya. Hehe...).
Tempat ini pernah ambruk, ketika gempa mengguncang Seririt tahun 1976. Konon, getarannya sangat hebat, sehingga berimbas ke daerah lain termasuk kuil ini. Kemudian tempat ini direnovasi, dan pemerintah setempat selalu mencantumkannya pada buku panduan wisata Bali Utara.
Well, ini adalah tempat suci bagi kaum Buddha, tapi sentuhan Bali sangat terasa. Misalnya, arsitekturnya masih bernuansa Bali. Ukiran dan gerbangnya pun menggunakan style Bali. Ini berbeda dengan kuil kebanyakan yang bernuansa oriental dan didominasi dengan warna kuning-merah. Inilah yang membuktikan bahwa kebudayaan Hindu dan Buddha memiliki hubungan yang sangat dekat.
Kami langsung mencari tempat bagus untuk berfoto. Tempat foto pertama adalah di depan candi entah-apa-namanya (yang jelas, bentuknya seperti genta dan berwarna kuning). Kemudian, kita bergerak ke selatan untuk mengunjungi candi kedua yang mirip dengan Candi Borobudur lengkap dengan stupa-nya. Ini memang seperti replika borobudur. Mulai dari stupa dan patung-patungnya, sampai bentuknya yang seperti teratai. Di tengah candi ini, terdapat kuil untuk bersembahyang untuk kaum Buddha, namun tak menutup kemungkinan bagi agama lain untuk ikut berdoa. Buktinya, banyak turis asing yang bersimpuh dan mencakupkan tangannya untuk sekedar memanjatkan doa. Penduduk lokal juga sering berziarah, berbaur dengan etnis Tionghoa yang rutin ke vihara.
Feature lain yang tak kalah menarik disini adalah relief yang menggambarkan perjalanan hidup Sang Buddha, dan tentu saja, patung-patung Buddha bersila dengan posisi telapak tangan yang berbeda-beda. Saya lupa menghitung berapa ada patung buddha disana. Yang jelas, banyak sekali. Bahkan, ada patung buddha yang tampak berbaring santai.
Entah karena tempatnya yang terpencil atau kesan yang ditimbulkan akibat terkuncinya mulut turis yang lain, tempat ini memang benar-benar-sepi-sekali. Padahal, waktu itu turis sedang banyak-banyaknya. Karena itulah, kuil ini adalah tempat yang pas untuk melakukan meditasi. Di sinilah surga bagi para pencinta meditasi, atau bagi orang yang ingin “melarikan diri” dari kesibukan kota sejenak. Agus menyuruh saya ikut kursus meditasi, tapi percayalah, itu sia-sia saja. Saya tak pernah bisa bertahan pada posisi padmasana lebih dari setengah menit.
Tapi setidaknya, tempat ini bisa saya jadikan tempat pelarian untuk merenungi hidup yang telah saya jalani (teman saya langsung memukul kepala saya. Sok banget, katanya. Hehe...).
No comments:
Post a Comment